Kamis, 16 Juni 2011

Wanita-Wanita Terkemuka: Asiyah, Ibu Angkat Nabi Musa

Gambar: ilustrasi dari Republika.co.id

Asiyah binti Muzahim merupakan salah satu diantara wanita-wanita pilihan yang pernah terukir dalam bingkai sejarah. Dia istri Fir’aun, seorang raja Mesir di zaman Nabi Musa.

Saat bersama Fir’aun, Asiyah tidak dikaruniai seorang anak pun. Fir’aun sangat mencintainya karena kecantikan dan kematangan akhlaknya. Telah berapa banyak cobaan dan tantangan yang harus dihadapinya dengan penuh kesabaran.

Bahkan berbagai kesulitan mampu dirubah menjadi kemudahan, sehingga Asiyah dikenal sebagai rahmat, bagi masyarakat di zaman Fir’aun yang penuh dengan kelicikan dan kelaliman.

Pada masa yang seperti itulah muncul peristiwa yang akan menentukan sejarah hidup Nabi Musa selanjutnya. Disebutkan dalam sejarah kenabian, ketika Asiyah duduk-duduk di taman yang indah nan luas, dihiasi dengan aliran sungai mempesona. Dia melihat sebuah peti mengambang.

Perlahan-lahan peti itu semakin mendekat sehingga Asiyah menyuruh para pembantunya untuk mengambil dan mengeluarkan isi peti tersebut. Ketika dibuka, ternyata di dalamnya terdapat seorang bayi mungil, elok dan rupawan.

Maka muncullah perasaan kasih sayang dalam diri Asiyah. Allah mengaruniakan cinta dan kasih sayang terhadap bayi tersebut melalui Asiyah. Tak pelak lagi, Asiyah memerintahkan agar bayi itu dibawa ke istana dengan bertekad memelihara dan mengasuhnya.

Ketika mendengar berita tersebut, Fir’aun hendak membunuhnya, karena dia melihat mimpi yang selama ini menghantuinya tentang seorang anak yang kelak menghancurkannya. Para dukun dan ahli nujum dihadirkan dari seluruh pelosok negara. Mimpinya pun diceritakan kepada mereka, sehingga ia diperingatkan agar hati-hati dengan kelahiran seorang bayi yang akan menjadi penyebab kehancuran kerajaannya.

Akhirnya, semua bayi laki-laki Bani Israel yang lahir diperintahkan agar dibunuh, kecuali bayi yang diasuh Asiyah. Fir’aun pun luluh dengan bujukan Asiyah ketika ia berkata, “Kita tidak mempunyai keturunan anak laki-laki, maka jangan bunuh anak ini. Semoga ada manfaatnya untuk kita atau kita jadikan dia sebagai anak kandung kita.”

Fir’aun menyetujui dan menyarankan agar anak itu dididik sedemikian rupa. Asiyah memberi nama Musa terhadap anak tersebut dan mendidiknya hingga dewasa dalam istana Fir’aun. Dan kisah tentang ini tidak asing lagi bagi kita.

Kelak Asiyah merupakan salah seorang yang memercayai Musa. Ketika Fir’aun mengetahui hal tersebut, tiba-tiba rasa cintanya berubah menjadi kemarahan dan permusuhan. Asiyah tidak mengindahkannya karena dirinya tahu bahwa kebenaran bersamanya.

Dan dia pun tahu bahwa Musa AS adalah utusan Allah yang kebenarannya tidak dapat dihalangi oleh tantangan dan ancaman yang datangnya dari siapa saja. Hingga meninggal dunia, hari-hari akhirnya Asiyah hanya dipenuhi dengan dzikir kepada Allah seraya mengucapkan, "Ya Tuhanku, bangunlah untukku sebuah rumah di sisi-Mu dalam surga dan selamatkanlah aku dari Fir`aun dan perbuatannya."

Allah telah mengabulkan doanya, bahkan dalam sebuah hadits Nabi SAW disebutkan bahwa Asiyah termasuk diantara wanita-wanita yang mulia. Beliau bersabda, “Sebaik-baik wanita penghuni surga adalah Khadijah, Fatimah, Maryam putri Imran dan Asiyah istri Fir’aun.” (republika.co.id-Kamis, 16 Juni 2011 22:35 WIB)
  
ilustrasi dari Republika.co.id

Sejarah Hidup Muhammad SAW: Pelajaran Perang Uhud
Pihak Muslimin sangat sibuk memerhatikan soal rampasan perang. Di tengah keaadaan yang demikian, tiba-tiba Khalid bin Walid berseru sekuat-kuatnya, dan  membalikkan anak buahnya ke belakang tentara Muslimin. Mereka yang tadinya sudah terpukul mundur kini kembali maju dan menyerang pasukan Muslimin dengan pukulan maut yang hebat. Bencana pun berbalik.

Barisan kaum Muslimin sudah centang-perenang, persatuan sudah pecah-belah,  pahlawan-pahlawan teladan telah dihantam oleh pihak Quraisy. Mereka yang tadinya   berjuang dengan perintah Allah hendak mempertahankan iman, sekarang berjuang hendak menyelamatkan diri sendiri dari cengkraman maut.

Pada saat kondisi sedemikian kacau, muncul rumor bahwa Rasulullah telah terbunuh. Begitu Quraisy mendengar Nabi Muhammad terbunuh, mereka terjun mengalir ke  jurusan tempat di mana tadi beliau berada. Masing-masing ingin supaya dialah yang membunuhnya atau ikut memegang peran di dalamnya.

Ketika itulah Muslimin yang dekat sekali dengan Nabi segera mengelilinginya,  menjaga dan melindunginya. Iman mereka tergugah kembali, keberanian mereka  makin bertambah bilamana mereka melihat batu yang dilemparkan Quraisy itu telah  mengenai diri Nabi.

Wajah Rasulullah terluka, gigi gerahamnya tanggal. Dua keping lingkaran rantai topi besi yang menutupi wajah Rasulullah menembusi pipinya. Batu-batu yang menimpa Rasulullah itu dilemparkan oleh Utbah bin Abi Waqqash. Rasulullah dan para sahabat mundur dan mendaki Gunung Uhud, dengan demikian mereka dapat menyelamatkan diri dari kejaran musuh.

Ketika balatentara Islam sibuk mendaki Gunung Uhud, tiba-tiba Khalid bin Walid dengan pasukan berkudanya sudah berada di atas  bukit. Tetapi Umar bin Al-Khathab dan beberapa orang sahabat Rasul segera menyerang dan berhasil mengusir mereka.   Sementara itu, kaum Muslimin sudah makin tinggi mendaki gunung.

Namun keadaan mereka sudah begitu payah dan letih, sampai-sampai Nabi SAW melakukan shalat Zuhur sambil duduk—juga karena luka-luka yang dideritanya. Demikian juga kaum Muslimin yang lain, mereka shalat di belakang Rasulullah sambil duduk pula.

Sebaliknya pihak Quraisy, sangat girang dengan kemenangan ini. Mereka merasa telah membalas dendam kekelahan Perang Badar. Seperti kata Abu Sufyan, "Yang sekarang ini untuk peristiwa Badar. Sampai jumpa lagi tahun depan!"

Tetapi istrinya, Hindun binti Utbah, tidak cukup puas hanya dengan kemenangan, dan  tidak cukup hanya dengan tewasnya Hamzah bin Abdul Muthalib. Ia dan rombongannya menyiksa mayat-mayat Muslimin; mereka memotongi telinga dan hidung mayat kaum Muslimin. Hindun juga membedah perut Hamzah, mengeluarkan jantungnya, lalu mengunyahnya.

Selesai menguburkan mayat-mayatnya sendiri, Quraisy pun pergi. Kini kaum Muslimin kembali ke garis depan guna menguburkan mayat-mayat pasukan Islam. Kemudian Rasulullah mencari jenazah Hamzah, pamannya.

Ketika Rasulullah melihat kondisi jenazah pamannya, yang dianiaya dan dibedah perutnya, beliau sangat sedih. "Takkan pernah ada orang mengalami malapetaka seperti engkau ini. Belum pernah aku menyaksikan suatu peristiwa yang begitu menimbulkan amarahku seperti  kejadian ini," ujarnya. 

Lalu katanya lagi, "Demi Allah, kalau pada suatu ketika Allah memberikan kemenangan kepada kami melawan mereka, niscaya akan kuaniaya mereka dengan cara yang belum pernah dilakukan oleh orang Arab."

Namun Allah SWT menurunkan firman-Nya: "Dan kalau kamu mengadakan pembalasan, balaslah dengan balasan yang sama dengan siksaan yang ditimpakan kepadamu. Akan tetapi jika kamu bersabar, sesungguhnya itulah yang lebih baik bagi orang-orang yang sabar. Bersabarlah (hai Muhammad) dan tiadalah kesabaran itu melainkan dengan pertolongan Allah dan janganlah kamu bersedih hati terhadap (kekafiran) mereka dan janganlah kamu bersempit dada terhadap apa yang mereka tipu dayakan." (QS An-Nahl: 126-127)

Rasulullah kemudian memaafkan mereka, ditabahkannya hatinya dan beliau melarang  orang-orang melakukan penganiayaan. Diselubunginya jenazah Hamzah dengan mantelnya lalu dishalatkannya.

Nabi SAW kemudian memerintahkan supaya korban-korban itu dikuburkan di tempat mereka menemui syahid, demikian pula dengan jenazah Hamzah. Setelah itu, kaum Muslimin berangkat pulang ke Madinah, dibawah pimpinan Rasulullah, dengan meninggalkan 70 orang syuhada.

Kepedihan terasa melecut hati mereka; karena kehancuran yang mereka alami setelah  mendapat kemenangan. Semua ini terjadi karena pasukan pemanah melanggar perintah Nabi. Sementara kaum Muslimin terlalu sibuk mengurusi rampasan perang dari pihak musuh. REPUBLIKA.CO.ID. Kamis, 16 Juni 2011 22:26 WIB
 

Sejarah Hidup Muhammad SAW: Mempererat Kekerabatan Semenda

Penduduk  Madinah di luar kaum Muslimin menjadi kecut setelah Bani Qainuqa' dikeluarkan  dari kota  itu. Keadaan aman dan tenteram ini dirasakan orang selama sebulan, dan seharusnya akan  terus  demikian  selama beberapa bulan, andaikata Abu Sufyan yang sudah tidak tahan lagi tinggal lama-lama di Makkah, masih bersemangat dan ngotot berperang.

Oleh sebab itu, ia kemudian mengumpulkan 200 orang—ada yang mengatakan 40 orang—penduduk. Mereka pun berangkat ke Madinah. Menjelang pagi mereka  berangkat ke sebuah daerah bernama Uraidz. Di tempat ini mereka bertemu dengan  seorang Anshar dan temannya yang tengah bekerja di kebun. Kedua orang itu mereka bunuh dan dua buah rumah serta sebatang pohon kurma di Uraidz itu mereka bakar. Menurut Abu Sufyan, sumpahnya hendak memerangi Muhammad itu telah terpenuhi.  Sekarang ia kembali melarikan diri, takut dikejar Nabi SAW dan sahabat-sahabatnya.

Rasulullah meminta beberapa orang sahabat, dan kemudian beliau pimpin sendiri, mengejar Abu Sufyan hingga di Qarqarat Al-Kudr. Abu Sufyan dan rombongannya makin kencang melarikan diri. Mereka makin ketakutan. Setelah melihat bahwa mereka terus melarikan diri, Rasulullah dan para sahabat kemudian kembali  ke  Madinah. Larinya Abu Sufyan itu berbalik merupakan pukulan terhadap dirinya sendiri, sebab sebelum itu ia, mengira Quraisy akan dapat mengangkat muka lagi setelah bencana yang mereka alami di Badar.

Mendengar bahwa ada beberapa golongan dari Ghatafan dan Bani Sulaim yang bermaksud hendak  menyerang  kaum  Muslimin, maka Rasulullah segera berangkat ke Qarqarat Al-Kudr guna memotong jalan mereka. Di tempat  ini beliau melihat  jejak-jejak binatang ternak, tapi tak seorang pun yang ada di padang itu. Disuruhnya beberapa orang sahabatnya  naik ke  atas  wadi  dan  beliau menunggu di bawah.

Oleh kaum Muslimin, ternak yang ada di tempat itu dikumpulkan dan dibagi-bagikan  antara sesama mereka sesudah seperlimanya diambil oleh Rasulullah, seperti yang ditentukan menurut nash Al-Qur'an. Konon barang rampasan itu sebanyak 500 ekor unta. Sesudah seperlima dipisahkan oleh Nabi, sisanya dibagikan. Setiap orang mendapat bagian dua ekor unta.

Rasulullah juga mendengar bahwa ada beberapa golongan dari Bani Tsa'labah dan Bani Muharib di Dzu Amar yang telah berkumpul. Mereka bersiap-siap akan melakukan serangan. Nabi SAW segera berangkat dengan 450 orang Muslimin. Begitu mendengar bahwa Rasulullah telah berada dekat mereka, orang-orang itu pun cepat-cepat melarikan diri ke gunung-gunung.

Demikian pula dengan Bani  Sulaim di Bahran, begitu sudah siap-siap akan menyerang, namun ketika diladeni oleh sekitar 300 orang Muslimin, mereka pun kabur lintang-pukang. Orang-orang Arab Badwi juga demikian, mereka serba  ketakutan kepada Nabi SAW dan umat Islam. Terpikir oleh mereka hendak menyerang Rasulullah, namun ketika hendak bertempur, mereka sudah kecut ketakutan.

Apa yang harus dilakukan Quraisy dengan perdagangannya setelah Rasulullah menguasai Qarqarat Al-Kudr yang menjadi jalur utama kafilah mereka? Hidupnya Makkah dari perdagangan. Apabila  jalan  ke arah  itu tidak  ada,  maka ini merupakan  bahaya besar. Kini Rasulullah akan memlokade jalan itu.

Dengan siasatnya yang sehat serta pandangannya yang  jauh,  hal semacam itu takkan diabaikan oleh Rasulullah. Beliau kemudian harus menambah kecintaan kaum Muslimin kepadanya, dan mempererat pertalian. Kendatipun Islam telah memberikan kebulatan tekad  kepada  mereka  dan  membuat  mereka  seperti sebuah  bangunan yang kokoh, satu sama lain saling memperkuat, namun kebijaksanaan pimpinan mereka akan lebih menguatkan lagi kerjasama dan tekad mereka.

Justru karena kebijaksanaan pimpinan inilah hubungan Nabi Muhammad dengan mereka semakin erat. Untuk mempererat hubungan, beliau melangsungkan pernikahan dengan Hafsah, putri Umar bin Al-Khathab—seperti juga sebelum itu dengan Aisyah,  puteri Abu  Bakar. Sebelumnya Hafsah adalah istri Khunais–termasuk orang yang mula-mula masuk Islam—yang meninggal tujuh bulan sebelum pernikahannya dengan Rasulullah.

Pernikahan Rasulullah dengan Hafsah kian menambah kecintaan Umar bin Al-Khathab kepada beliau. Juga Fatimah, putri beliau, dinikahkan dengan sepupunya,  Ali  bin Abi  Thalib. Oleh karena Ruqayyah, putri Rasulullah yang lain, telah  berpulang  ke rahmatullah, maka sesudah itu Usman bin Affan dinikahkan dengan putrinya yang seorang lagi, Ummu Kultsum.

Dengan demikian, kedudukan Rasulullah diperkuat lagi oleh pertalian keluarga semenda dengan Abu Bakar, Umar, Usman dan Ali. Ini merupakan gabungan empat  orang kuat dalam Islam yang sekarang mendampingi beliau, bahkan yang terkuat. Dengan ini kekuatan dalam tubuh kaum Muslimin makin mendapat jaminan lagi.

Di  samping itu rampasan perang yang mereka peroleh dalam peperangan kian menambah pula keberanian mereka bertempur, yang juga merupakan gabungan  antara perjuangan di jalan Allah dan mendapat rampasan perang dari orang-orang musyrik.

Pada saat yang sama, pihak Quraisy juga telah mengadakan persiapan heendak menuntut balas, dan membuka kembali jalan perdagangannya ke Syam, yang telah diblokade kaum Muslimin.  REPUBLIKA.CO.ID, Minggu, 29 Mei 2011 20:38 WIB

Tidak ada komentar:

Posting Komentar