September 7, 2011
Pasca tragedi 11 September 2001 bukanlah wajah yang ramah, terutama bagi kaum Muslim. Bukan hanya bagi warga dari negara-negara Islam, bahkan terhadap warga negaranya yang Muslim pun, AS memasang wajah ‘garang”. Data menunjukkan ada peningkatan luar biasa dalam kasus diskriminasi yang dialami umat Islam di AS pasca tragedi 9 September lalu. Tercatat 14 ribu sampai 15 ribu kasus yang ditangani CAIR (Council on American-Islamic Relations). Padahal sebelumnya hanya 300-400 kasus saja yang ditangani CAIR. Apakah yang sebenarnya terjadi?
Seorang mahasiswi berwajah Timur Tengah tampak asyik bercakap-cakap dengan rekan-rekannya di sebuah lorong Georgetown University, Washington DC, Amerika Serikat (AS). Sang mahasiswi jelas ia seorang muslimah karena tampil dengan kerudung terlihat serius seperti rekannya. Jika di Indonesia, pemandangan serupa bukan hal yang aneh. Namun sang muslimah berjilbab ini terlihat di sebuah universitas swasta salah satu yang terbaik dan termahal di AS dan terjadi sekitar empat bulan setelah serangan 11 September 2001 di Pentagon dan menara kembar World Trade Center (WTC).
Gambaran tersebut memang tidak mewakili seluruh umat Islam di AS. Namun kini, menguak kehidupan umat Islam di Amerika Serikat tak bisa lepas dari tragedi 11 September 2001. Potret Islam Di Amerika Serikat ini seolah ternoda oleh aksi tersebut. Tak pelak, umat Islam meski mereka tak terlibat, tidak setuju, atau malah mengutuk aksi tersebut ikut terimbas.
Sejumlah media massa melaporkan, umat Islam Di Amerika Serikat terkena “getah” serangan tersebut. Laporan diskriminasi terhadap mereka meningkat tajam dan sejumlah aksi kekerasan terhadap warga Muslim atau yang disangka Muslim terjadi beberapa di antaranya bahkan mengakibatkan kematian. Bagaimanakah yang sebenarnya terjadi?
Islam adalah satu agama yang mengalami perkembangan paling pesat di AS. Bahkan pada 2010, umat Islam diperkirakan akan melampaui jumlah kaum Yahudi sebuah kalkulasi yang menurut Washington Times terkadang ditanggapi dengan cemas oleh para pemuka agama lain. Sesaat setelah tragedi 11 September 2001, luapan amarah dan kebencian sempat ditumpahkan kepada orang Islam yang dianggap sebagai pelaku tragedi tersebut. Pada beberapa kasus, umat Islam atau yang dikira Muslim bahkan mendapat gangguan tenor, baik secara fisik mau pun mental.
Tak urung, organisasi-organisasi Islam Di Amerika Serikat pun kebanjiran tugas. Selain menampung keluhan atau pengaduan jamaahnya, mereka juga harus menjadi “jembatan” yang menghubungkan antara umat Islam dan masyarakat AS lainnya. Tugas tersebut tentunya tidaklah mudah. Mereka dihadapkan pada pergulatan identitas: sebagai Muslim sekaligus sebagai warganegara AS.
• • •
Salah satu organisasi yang giat menjembatani warga Amerika dan umat Islam di AS adalah Council on American-Islamic Relations (CAIR). CAIR termasuk salah satu organisasi Islam di Amerika Serikat yang tumbuh pesat. Menurut Direktur Eksekutif CAIR Dr Nihad Awad, lembaga yang dipimpinnya kini memiliki sekitar 250 ribu anggota. Bahkan beberapa di antaranya adalah non-muslim.
“Kendala? Wah banyak sekali,” kata Awad sambil tersenyum ketika ditanya kendala yang dihadapinya setelah serangan 11 September 2001. Menurutnya, Islam adalah agama minoritas di AS sehingga tak jarang mengundang salah pengertian di kalangan masyarakat Amerika umumnya, terlebih setelah terjadi serangan 11 September. “Serangan tersebut memberi dampak pada seluruh masyarakat Amerika, tidak hanya kami. Aksi tersebut telah mengubah hidup kami, bahkan ada beberapa yang mengalami kondisi yang disebut zero tolerance. Namun, kita harus yakin bahwa Islam bukanlah sebuah ancaman keamanan,” tegasnya.
Sebelum serangan, CAIR menerima sekitar 300 hingga 400 kasus diskriminasi umat Islam di Amerika Serikat setiap tahunnya. Namun, sejak tragedi tersebut, kata Awad, “Kami menerima 14 hingga 15 ribu kasus dalam empat bulan terakhir! CAIR masih menjadi jembatan bagi umat Islam Amerika untuk memperjuangkan hak-hak sipilnya. Karena kami tidak seharusnya dihukum semata karena kami Muslim.”
Masalah diskriminasi setelah 11 September juga diakui oleh Imam Yahya Hendi, seorang cendikiawan Muslim yang mengajar di Georgetown University. Namun menurut mas- ter lulusan Yordania ini, reaksi tersebut terhitung “normal” mengingat ketidaktahuan masyarakat AS akan Islam. “Umat Islam memang sempat ketakutan. Begitu banyak rasa amarah. Begitu besarnya sikap tidak peduli pada Islam. Maka (reaksi tersebut) bisa dimengerti. Itu hal yang ‘normal’. Maka bagaimana pun, kita perlu mendidik mereka,” tutur pria kelahiran Yerusalem, Palestina, ini.
Hari-hari penuh ketakutan memang sempat mewarnai kehidupan sehari-hari umat Islam AS, termasuk di Dearborn, Michigan. Dearborn adalah sebuah daerah dengan komunitas warga Arab yang terbesar — sekitar 250 ribu orang — di AS. “Kami amat takut. Bahkan tidak pernah menyebutkan nama Usamah bin Laden di muka umum atau pun di telepon. Kami takut jika dikira sebagai pendukungnya,” tutur Intisar Alawie (16 tahun). “Ada beberapa teman saya yang karena ketakutan maka ia melepaskan jilbabnya, lantas mereka keluar dengan menggunakan baju pendek. Tapi menurut saya itu masalah pribadi,” tutur wanita belia ini sambil membetulkan letak jilbabnya. Wanita keturunan Yaman yang baru menikah ini mengakui bahwa berita mengerikan di media massa semakin menambah kekhawatiran dirinya. Namun, ketakutan tersebut ternyata makin berkurang seiring berjalannya waktu.
Seorang aktivis lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang tinggal di Detroit mengakui bahwa umat Islam kini takut memberikan dana apa pun pada kegiatan Islam, termasuk zakat sekali pun. Menurutnya, ruang gerak Muslim lebih terbatas dibandingkan sebelum 11 September. “Mereka harus berhati-hati. Kalau pun memberikan zakat, mereka tidak mau menuliskan nama mereka,” kata pria keturunan Irak yang menolak disebutkan jati dirinya ini. Akibat ketakutan ini, jumlah zakat dan infak yang digalang umat Islam pun berkurang. Sebelum tragedi 11 September, jumlah dana yang terkumpul di seluruh AS mencapai 4 juta dolar AS setiap tahunnya. Namun ia mengakui bahwa dalam kehidupan sehari-hari, warga AS bersikap ramah.
“Umumnya warga AS cukup ramah. Sehari-hari, semuanya berlangsung mulus-mulus saja,” jelasnya. Jilbab memang menjadi salah satu identitas keislaman yang menyolok di kalangan wanita Muslim. Tak jarang, jilbab menjadi masalah saat umat Islam tengah menjadi sorotan. Hal ini diakui oleh pasangan muda asal Indonesia, Fauzul (30 tahun) dan Noor Fitrie (29 tahun) yang ditemui di Masjid Al Hikmah di Queens, New York.
Sang istri, Fitrie, sempat diminta untuk membuka jilbabnya saat mereka berada disebuah bandara AS. Namun Fitrie menyatakan akan membuka jilbabnya jika di sebuah ruang tertutup. “Akhirnya petugas membatalkan permintaannya dan kami boleh lewat,” tutur Fauzul. Tetapi dalam kehidupan sehari-hari jilbab tidak menjadi kendala bagi Fitrie. Ibu satu anak yang tengah mengambil program master bidang hukum di sebuah universitas di negara bagian Chicago menuturkan, “Enggak ada masalah, kok. Kita di di sini aman-aman aja.” Secara keseluruhan, tragedi 11 September memang membuat warga AS semakin ‘memperhatikan’ Islam dan umatnya.
Dampak Positif pasca tragedi 9 September 2011
Di balik sejumlah kepedihan dan kepahitan mengecap hidup sebagai Muslim di AS, serangan 11 September ternyata membuahkan hikmah. Hal ini diakui oleh para tokoh Muslim di AS. Nama Islam mungkin masih terasa asing bagi sebagian besar warga AS. Hal ini terungkap saat American Muslim Council (AMC) melakukan wawancara yang direkam melalui video. “Islam? Saya… tidak tahu,” kata seorang pria sambil tersenyum. Sedangkan seorang pria menjawab, “Setahu saya, Islam adalah agamanya orang Israel.”
Direktur AMC Aly R Abuzaakouk mengakui bahwa Islam masih asing di mata masyarakat AS. Sejak tragedi 11 September 2001, mereka seolah baru menyadari keberadaan agama ini di lingkungan mereka. “Buku-buku tentang Islam banyak terjual di mana-mana. Orang memburunya. Tapi tentu saja ada sisi positif dan sisi negatif dari semua perkembangan ini. Semakin tahu tentang Islam maka ‘musuh’ kami pun semakin mengenali kami. Jujur saja, sebab ada kelompok tertentu yang tidak menyukai kami,” tutur Abuzaakouk.
Namun bagi Abuzaakouk, sisi positifnya tentu lebih banyak. Pasalnya, orang menjadi lebih mengetahui esensi ajaran Islam. Tingginya minat terhadap Islam setelah tragedi 11 September diakui Pula oleh Direktur Eksekutif Council on American-Islamic Relation (CAIR), Dr Nihad Awad. “Buku yang paling laris dijual saat itu adalah buku tentang Islam, termasuk Al Quran. Ini menarik sekali. Untuk pertama kalinya ribuan warga Amerika menginjakkan kaki di masjid. Mereka lebih tertarik untuk mengetahui Islam, namun sayangnya mereka banyak di kelilingi oleh opini media” kata Awad.
Imam Syamsi Ali dari Masjid Al Hikmah di Queens, New York, memiliki pengalaman unik. Pria kelahiran Indonesia ini adalah satu-satunya ulama Islam yang ditunjuk mewakili umat Islam dalam acara doa bersama yang digelar di stallion Yankee, New York, beberapa hari setelah tragedi terjadi. “Sejak serangan 11 September, kami jadi lebih banyak diundang oleh berbagai pihak untuk berbicara soal Islam. Namun dari sebelumnya pun, kami memang sudah sering diundang oleh lembaga-lembaga seperti Kepolisian New York untuk berceramah mengenai apa itu Islam — misalnya menjelang Ramadhan. Mereka ingin tahu mengenai Ramadhan dan apa saja yang bisa dilakukan atau tidak boleh dilakukan orang Islam di bulan tersebut,” papar master lulusan Pakistan, untuk bidang perbandingan agama.
Sementara Imam Yahya Hendi menyebutkan, salah satu hikmah di balik tragedi tersebut adalah banyaknya berita tentang Islam di sejumlah media, dalam empat bulan terakhir. “Jumlahnya bahkan jauh lebih banyak — bahkan jika dibandingkan sejak bangsa ini (AS) berdiri 200 tahun yang lalu,” tuturnya setengah bergurau. “Kini banyak orang Amerika yang ingin tahu lebih banyak mengenai Islam,” tuturnya sambil menyebutkan bahwa is pun kebanjiran permintaan untuk mengadakan diskusi mengenai Islam di sejumlah kelompok akademisi maupun agamawan lain.
Sang imam mengakui bahwa rendahnya pengetahuan
dan pendidikan menjadi salah satu masalah yang dihadapi masyarakat AS dan Barat pada umumnya. “Ini pandangan pribadi saya. Ekstrimisme itu memang ada dan kita perlu lebih mendidik umat Islam (untuk menghindari ekstrimisme),” katanya. Imam Yahya melanjutkan, “Saya yakin bahwa kita masih belum cukup mendidik orang Barat mengenai siapa kita dan apa identitas yang bukan milik kita. Salah satu contohnya, mereka tidak tahu bahwa jihad tidak selalu berarti perang.” Bagaimana pun, kata sang imam, kini umat Islam di Amerika mendapat kesempatan duduk di sejumlah lembaga. Di universitas tempatnya mengajar, misalnya, “ada 10 sampai 15 profesor Muslim yang menjadi pengajar.”
dan pendidikan menjadi salah satu masalah yang dihadapi masyarakat AS dan Barat pada umumnya. “Ini pandangan pribadi saya. Ekstrimisme itu memang ada dan kita perlu lebih mendidik umat Islam (untuk menghindari ekstrimisme),” katanya. Imam Yahya melanjutkan, “Saya yakin bahwa kita masih belum cukup mendidik orang Barat mengenai siapa kita dan apa identitas yang bukan milik kita. Salah satu contohnya, mereka tidak tahu bahwa jihad tidak selalu berarti perang.” Bagaimana pun, kata sang imam, kini umat Islam di Amerika mendapat kesempatan duduk di sejumlah lembaga. Di universitas tempatnya mengajar, misalnya, “ada 10 sampai 15 profesor Muslim yang menjadi pengajar.”
Namun, soal perang yang digelar AS untuk kampanye antiteroris, Imam Yahya memiliki pandangan lain. Menurutnya, perang bukanlah jalan satu-satunya. “Saya percaya perang bukanlah solusi yang baik karena hanya akan mengakibatkan reaksi dan kebencian,” tegasnya. Soal ada segelintir orang yang mengaitkan Islam dengan terorisme,Imam Yahya menukas, “Saya percaya bahwa terorisme tidak memiliki agama. Dan Agama tidak berhubungan dengan terorisme. Dunia internasional harus menemukan definisi mengenai terorisme.”
Fenomena menarik lainnya diungkap aktivis LSM asal Irak. Menurutnya, ada peningkatan jumlah orang yang memeluk agama Islam sejak 11 September 2001. “Sebelum 11 September, ada enam ribu orang yang masuk Islam setiap tahunnya. Setelah tragedi itu, kini jumlahnya meningkat jadi 20 ribuan clalam waktu beberapa bulan saja,” ujarnya. Sebagian besar yang tertarik menjadi Muslim adalah warga kulit hitam asal Afrika, menyusul keturunan Spanyol, dan warga kulit putih. Sayangnya, sang aktivis yang tak ingin disebut jati dirinya ini tidak memiliki data tertulis mengenai hal tersebut.
Pepatah Inggris berkata, Every cloud has a silver lining: setiap kejadian akan selalu berbuah hikmah. Mudah-mudahan, peristiwa 11 September ini dapat membawa hikmah, terutama bagi umat Islam. Imam Yahya pun berujar, “Kini kita semua harus berupaya membuat diri kita senyaman mungkin dengan nilai-nilai yang kita anut. Itulah jihad kita,”.(berita muslim-wordpress)